NAMA : Nabila Subiyanto
UNIVERSITAS: Universitas Gunadarma
DOSEN : Ahmad Nasher S.I.Kom., M.M.
Dalam catatan sejarah, kita bisa melihat “agama”
adalah identitas yang kerap menuai perbedaan dan konflik di dalam masyarakat.
Padahal agama apapun mengajarkan cinta kasih dan perdamaian di antara umat
manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan.
Salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang masih
rancu antara iman dan agama. Keimanan adalah sesuatu yang tidak kasat mata,
konseptual dan menjadi sandaran pondasi agama. Keimanan adalah kemampuan
manusia menerima segala sesuatu dengan mata batinnya bukan dengan mata ragawi
dan pembuktian ilmiah. Sedangkan agama adalah implementasi dari keimanan kita
yang diikuti sejumlah kaidah-kaidah yang sifatnya lebih kasat mata dan duniawi.
Agama hanya mengantar seseorang menghayati keimanannya sehingga keimanan
levelnya lebih tinggi daripada agama.
Sayangnya masih banyak orang yang hidup keagamaannya
berkisar pada “agama”-nya saja, belum sepenuhnya sampai pada keimanan yang
diharapkan. Ini bisa memupuk sifat intoleransi dan fanatisme sempit. Jadi
jangan heran, pemicu kecil saja dapat menjadi konflik besar di tengah
masyarakat kita.
TANTANGAN
ERA MEDSOS
Membangun toleransi antar umat beragama pada era
teknologi informasi seperti saat ini bukan hal mudah. Setiap saat arus
informasi bergerak dengan deras dari sumber-sumber informasi sampai ke
penerimanya. Melahap apa saja yang disajikan media telah menjadi gaya hidup
masyarakat kita. Informasi itu sendiri sebenarnya bersifat netral, namun setelah
melewati media dan kepentingannya, apalagi sampai ke penerima tanpa filter
logika yang baik, informasi bisa jadi terdistorsi.
Idealnya pembaca harus menelusuri kata demi kata
dalam berita atau artikel memahami informasi yang disajikan dengan baik. Sayangnya,
masyarakat kita cenderung suka menekan tombol share tanpa membaca artikelnya
terlebih dahulu, ditambah lagi dengan komentar yang emosional. Padahal judul
berita bukanlah informasinya, melainkan potongan informasi.
Ini berlaku pula untuk informasi yang terkait dengan
isu-isu agama. Saat muncul berita tentang Masjid yang terbakar, pembaca
cenderung memiliki mindset kalau pelakunya orang-orang yang beragama Kristen.
Begitu pula sebaliknya, saat ada yang melempar bahan peledak ke gereja, orang
akan berpandangan bahwa pelakunya adalah orang-orang yang beragama islam.
Padahal belum tentu seperti itu. Kalaupun benar
pelaku adalah orang yang memiliki agama berbeda, sekali lagi agama hanyalah
identitas, tidak menjamin keimanan seseorang. Dan oknum yang bersangkutan sama
sekali bukan representasi seluruh umat agama yang dianutnya.
Seringkali saya amati artikel-artikel tentang agama
berujung pada membanjirnya komentar dari netizen. Adu argumen dan debat dunia
maya pun tidak terhindarkan lagi. Karakter netizen saat menyampaikan
uneg-unegnya juga beraneka ragam, mulai dari yang sopan santunnya masih terjaga
sampai yang berkomentar cadas dan menyerang simbol-simbol keimanan netizen yang
lain. Ini adalah fenomena yang tidak sehat dalam membangun toleransi.
Salah satu
jurus untuk membangun toleransi adalah dengan dialog antar umat beragama.
Dialog yang dimaksud di sini memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar
percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog ini bisa diimplementasikan
berbeda sesuai dengan segmen masyarakat yang disasar.
Dialog mengenai kaidah-kaidah agama, dalil dan
hal-hal konseptual lainnya lebih cocok digunakan pada kalangan
pemimpin-pemimpin agama. Diasumsikan mereka telah memiliki kedewasaan berpikir
tentang agama dan keimanan, jadi pada saat-saat terjadi perbedaan (dan memang
akan selalu ada perbedaan antar agama) dialog tidak menjadi kaku melainkan jadi
semakin berwarna dan semakin menyingkap keindahan jalan-jalan yang dipilih
manusia untuk sampai pada Sang Khalik. Model ini dapat kita lihat pada
forum-forum diskusi, sarasehan atau semintar lintas agama.
Sedangkan pada tingkat grass root, dialog seperti
itu justru dapat memperuncing perbedaan pendapat dan menimbulkan kesan
konfrontasi. Oleh karena itu dialog di tengah-tengah masyarakat lebih tepat
dilakukan dengan cara yang bersifat karitatif, gotong royong dan bersentuhan
langsung dengan keseharian mereka. Misalnya saling menjaga jika ada masyarakat
pemeluk agama lain yang sedang beribadah, bekerja sama membersihkan lingkungan
kampung, silahturahmi dengan pemeluk agama lain pada saat hari raya keagamaan
dan lain-lain.
Contoh lain, pada pesta di kalangan masyarakat
Toraja yang sebagian besar beragama Katolik maupun Kristen, hidangan dari
daging babi adalah santapan yang selalu disajikan. Namun pada saat pesta
berlangsung, mereka juga tetap menyediakan makanan dengan lauk ikan maupun ayam
untuk tamu-tamu yang beragama Islam.
Contoh berikutnya, lihatlah keharmonisan gereja
Katedral dan Masjid Istiqlal Jakarta. Kedua tempat ibadah besar ini bisa jadi
saksi dinamika hidup bergandengan antar dua agama yang berbeda. Saat perayaan
Jumat Agung dan Paskah misalnya, pengurus mesjid mempersilahkan umat yang
hendak mengikuti Misa untuk memarkir kendaraannya di halaman masjid, karena
saat itu memang volume umat lebih besar dari biasanya. Begitu pula sebaliknya,
saat perayaan Idul Fitri, halaman gereja Katedral dibuka untuk parkir jemaah
yang akan melangsungkan sholat Idul Fitri di Masjid Istiqlal.
Inilah contoh-contoh panorama dialog antar umat
beragama pada tataran akar rumput.
TOLERANSI
DUNIA MAYA
Kita bisa belajar mengembangkan semangat toleransi
yang sama pada dunia maya. Karakteristik dunia maya yang kemudian menjadi
tantangan bagi kita adalah sifatnya yang terbuka nyaris tanpa sekat ruang dan
waktu. Peluang setiap orang untuk memberi, meneruskan, menerima dan menanggapi
informasi sama besarnya. Dengan demikian ruang untuk “dialog” terbuka sangat
lebar dan peluang dialog berjalan konstruktif maupun destruktif juga sama
besarnya. Hanya saja seperti yang sudah saya sampaikan di atas, topik terkait
agama di dunia maya cenderung berkembang menjadi pembicaraan yang destruktif.
Oleh karena itu salah satu strategi membangun
toleransi pada dunia maya adalah dengan meminimalkan peluang hadirnya informasi
yang dapat menimbulkan sikap intoleransi.
Dalam hal
ini, ada tiga pihak yang memiliki peranan paling penting yaitu masyarakat,
pemilik portal dan pemerintah sebagai regulator.
Masyarakat. Diharapkan masyarakat lebih arif dalam menyikapi
pemberitaan-pemberitaan di media sosial. Tidak semua informasi yang
berseliweran itu akurat dan valid, apalagi jika sudah ditumpangi oleh
pihak-pihak yang memang ingin mengacaubalaukan kerukunan beragama di tanah air.
Jangan mudah terprovokasi oleh hasutan-hasutan yang menjurus kepada anarkisme.
Artikel-artikel yang semakin memperdalam khazanah keagamaan sudah tepat untuk
kita santap, tetap katakan tidak untuk artikel-artikel yang cenderung
merendahkan agama lain.
Pemilik Portal. Kearifan yang sama juga diharapkan dari para
pemilik portal baik yang menayangkan berita/artikel langsung sebagai pihak
pertama maupun yang mewadahi tulisan pihak lain. Content berisi hal-hal yang
dapat merusak toleransi antar umat beragama sebaiknya jangan ditayangkan.
Berhati-hatilah memasang judul artikel. Memang judul sangat mempengaruhi
pageview, tapi masih banyak masyarakat yang menafsirkan sebuah berita atau
artikel hanya dari judulnya saja. Kemudian moderasi komentar harus dijaga untuk
meminimalkan debat kusir yang bisa menjurus pada sikap intoleran. Memang tidak
mudah, tetapi penyedia content harus memiliki mekanisme guna mencegah
pembaca-pembaca yang kurang bertanggungjawab memanfaatkan artikel tersebut
untuk menyebar permusuhan.
Pemerintah. Sebagai regulator, pemerintah juga memiliki tanggungjawab
untuk membuat dunia maya di tanah air menjadi tempat kondusif untuk
toleransi antar umat beragama. Pemerintah mesti menjadi polisi lalu lintas
informasi yang berseliweran di dunia maya. Tidak perlu sungkan-sungkan
membreidel website dan akun yang menebar virus intoleransi atau radikalisme.
Kemudian laporan dari masyarakat terhadap website atau perorangan yang
menyebarkan bibit-bibit intoleransi juga harus ditanggapi dengan serius.
Membangun forum kerukunan antar umat beragama di
dunia maya sepertinya tidak akan berjalan semulus di dunia nyata. Malah segala
sesuatu yang diembel-embeli agama selalu menjadi sasaran empuk netizen yang
doyan berpolemik dan membuat keributan. Lebih baik membuat forum yang tidak
dilabeli agama tetapi dikondisikan untuk menerima siapapun yang ingin
bergabung, apapun agamanya. Saat ini sudah banyak komunitas yang berkiprah di
dunia nyata yang diawali dengan kumpul-kumpul di dunia maya. Anggota-anggota
komunitas saat berkumpul tidak lagi mempersoalkan latar belakang agama,
melainkan larut dalam kebersamaan berdasarkan hobi atau kepentingan mereka.
Sumber :
http://www.kompasiana.com/picalgadi/membangun-toleransi-di-era-sosial-media_57d8f6bb5397732911214b34
Sumber :
http://www.kompasiana.com/picalgadi/membangun-toleransi-di-era-sosial-media_57d8f6bb5397732911214b34
0 Comments:
Posting Komentar