Jumat, 21 April 2017

Strategi Membangun Toleransi

NAMA       : Nabila Subiyanto
UNIVERSITAS: Universitas Gunadarma
DOSEN      : Ahmad Nasher S.I.Kom., M.M.
Dalam catatan sejarah, kita bisa melihat “agama” adalah identitas yang kerap menuai perbedaan dan konflik di dalam masyarakat. Padahal agama apapun mengajarkan cinta kasih dan perdamaian di antara umat manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan.
Salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang masih rancu antara iman dan agama. Keimanan adalah sesuatu yang tidak kasat mata, konseptual dan menjadi sandaran pondasi agama. Keimanan adalah kemampuan manusia menerima segala sesuatu dengan mata batinnya bukan dengan mata ragawi dan pembuktian ilmiah. Sedangkan agama adalah implementasi dari keimanan kita yang diikuti sejumlah kaidah-kaidah yang sifatnya lebih kasat mata dan duniawi. Agama hanya mengantar seseorang menghayati keimanannya sehingga keimanan levelnya lebih tinggi daripada agama.
Sayangnya masih banyak orang yang hidup keagamaannya berkisar pada “agama”-nya saja, belum sepenuhnya sampai pada keimanan yang diharapkan. Ini bisa memupuk sifat intoleransi dan fanatisme sempit. Jadi jangan heran, pemicu kecil saja dapat menjadi konflik besar di tengah masyarakat kita.

TANTANGAN ERA MEDSOS

Membangun toleransi antar umat beragama pada era teknologi informasi seperti saat ini bukan hal mudah. Setiap saat arus informasi bergerak dengan deras dari sumber-sumber informasi sampai ke penerimanya. Melahap apa saja yang disajikan media telah menjadi gaya hidup masyarakat kita. Informasi itu sendiri sebenarnya bersifat netral, namun setelah melewati media dan kepentingannya, apalagi sampai ke penerima tanpa filter logika yang baik, informasi bisa jadi terdistorsi.
Idealnya pembaca harus menelusuri kata demi kata dalam berita atau artikel memahami informasi yang disajikan dengan baik. Sayangnya, masyarakat kita cenderung suka menekan tombol share tanpa membaca artikelnya terlebih dahulu, ditambah lagi dengan komentar yang emosional. Padahal judul berita bukanlah informasinya, melainkan potongan informasi.
Ini berlaku pula untuk informasi yang terkait dengan isu-isu agama. Saat muncul berita tentang Masjid yang terbakar, pembaca cenderung memiliki mindset kalau pelakunya orang-orang yang beragama Kristen. Begitu pula sebaliknya, saat ada yang melempar bahan peledak ke gereja, orang akan berpandangan bahwa pelakunya adalah orang-orang yang beragama islam.
Padahal belum tentu seperti itu. Kalaupun benar pelaku adalah orang yang memiliki agama berbeda, sekali lagi agama hanyalah identitas, tidak menjamin keimanan seseorang. Dan oknum yang bersangkutan sama sekali bukan representasi seluruh umat agama yang dianutnya.

MEMBANGUN TOLERANSI


Seringkali saya amati artikel-artikel tentang agama berujung pada membanjirnya komentar dari netizen. Adu argumen dan debat dunia maya pun tidak terhindarkan lagi. Karakter netizen saat menyampaikan uneg-unegnya juga beraneka ragam, mulai dari yang sopan santunnya masih terjaga sampai yang berkomentar cadas dan menyerang simbol-simbol keimanan netizen yang lain. Ini adalah fenomena yang tidak sehat dalam membangun toleransi.
 Salah satu jurus untuk membangun toleransi adalah dengan dialog antar umat beragama. Dialog yang dimaksud di sini memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog ini bisa diimplementasikan berbeda sesuai dengan segmen masyarakat yang disasar.
Dialog mengenai kaidah-kaidah agama, dalil dan hal-hal konseptual lainnya lebih cocok digunakan pada kalangan pemimpin-pemimpin agama. Diasumsikan mereka telah memiliki kedewasaan berpikir tentang agama dan keimanan, jadi pada saat-saat terjadi perbedaan (dan memang akan selalu ada perbedaan antar agama) dialog tidak menjadi kaku melainkan jadi semakin berwarna dan semakin menyingkap keindahan jalan-jalan yang dipilih manusia untuk sampai pada Sang Khalik. Model ini dapat kita lihat pada forum-forum diskusi, sarasehan atau semintar lintas agama.
Sedangkan pada tingkat grass root, dialog seperti itu justru dapat memperuncing perbedaan pendapat dan menimbulkan kesan konfrontasi. Oleh karena itu dialog di tengah-tengah masyarakat lebih tepat dilakukan dengan cara yang bersifat karitatif, gotong royong dan bersentuhan langsung dengan keseharian mereka. Misalnya saling menjaga jika ada masyarakat pemeluk agama lain yang sedang beribadah, bekerja sama membersihkan lingkungan kampung, silahturahmi dengan pemeluk agama lain pada saat hari raya keagamaan dan lain-lain.
Contoh lain, pada pesta di kalangan masyarakat Toraja yang sebagian besar beragama Katolik maupun Kristen, hidangan dari daging babi adalah santapan yang selalu disajikan. Namun pada saat pesta berlangsung, mereka juga tetap menyediakan makanan dengan lauk ikan maupun ayam untuk tamu-tamu yang beragama Islam.
Contoh berikutnya, lihatlah keharmonisan gereja Katedral dan Masjid Istiqlal Jakarta. Kedua tempat ibadah besar ini bisa jadi saksi dinamika hidup bergandengan antar dua agama yang berbeda. Saat perayaan Jumat Agung dan Paskah misalnya, pengurus mesjid mempersilahkan umat yang hendak mengikuti Misa untuk memarkir kendaraannya di halaman masjid, karena saat itu memang volume umat lebih besar dari biasanya. Begitu pula sebaliknya, saat perayaan Idul Fitri, halaman gereja Katedral dibuka untuk parkir jemaah yang akan melangsungkan sholat Idul Fitri di Masjid Istiqlal.
Inilah contoh-contoh panorama dialog antar umat beragama pada tataran akar rumput.

TOLERANSI DUNIA MAYA

Kita bisa belajar mengembangkan semangat toleransi yang sama pada dunia maya. Karakteristik dunia maya yang kemudian menjadi tantangan bagi kita adalah sifatnya yang terbuka nyaris tanpa sekat ruang dan waktu. Peluang setiap orang untuk memberi, meneruskan, menerima dan menanggapi informasi sama besarnya. Dengan demikian ruang untuk “dialog” terbuka sangat lebar dan peluang dialog berjalan konstruktif maupun destruktif juga sama besarnya. Hanya saja seperti yang sudah saya sampaikan di atas, topik terkait agama di dunia maya cenderung berkembang menjadi pembicaraan yang destruktif.
Oleh karena itu salah satu strategi membangun toleransi pada dunia maya adalah dengan meminimalkan peluang hadirnya informasi yang dapat menimbulkan sikap intoleransi.
 Dalam hal ini, ada tiga pihak yang memiliki peranan paling penting yaitu masyarakat, pemilik portal dan pemerintah sebagai regulator.
Masyarakat. Diharapkan masyarakat lebih arif dalam menyikapi pemberitaan-pemberitaan di media sosial. Tidak semua informasi yang berseliweran itu akurat dan valid, apalagi jika sudah ditumpangi oleh pihak-pihak yang memang ingin mengacaubalaukan kerukunan beragama di tanah air. Jangan mudah terprovokasi oleh hasutan-hasutan yang menjurus kepada anarkisme. Artikel-artikel yang semakin memperdalam khazanah keagamaan sudah tepat untuk kita santap, tetap katakan tidak untuk artikel-artikel yang cenderung merendahkan agama lain.
Pemilik Portal. Kearifan yang sama juga diharapkan dari para pemilik portal baik yang menayangkan berita/artikel langsung sebagai pihak pertama maupun yang mewadahi tulisan pihak lain. Content berisi hal-hal yang dapat merusak toleransi antar umat beragama sebaiknya jangan ditayangkan. Berhati-hatilah memasang judul artikel. Memang judul sangat mempengaruhi pageview, tapi masih banyak masyarakat yang menafsirkan sebuah berita atau artikel hanya dari judulnya saja. Kemudian moderasi komentar harus dijaga untuk meminimalkan debat kusir yang bisa menjurus pada sikap intoleran. Memang tidak mudah, tetapi penyedia content harus memiliki mekanisme guna mencegah pembaca-pembaca yang kurang bertanggungjawab memanfaatkan artikel tersebut untuk menyebar permusuhan.
Pemerintah. Sebagai regulator, pemerintah juga memiliki tanggungjawab untuk membuat dunia maya   di tanah air menjadi tempat kondusif untuk toleransi antar umat beragama. Pemerintah mesti menjadi polisi lalu lintas informasi yang berseliweran di dunia maya. Tidak perlu sungkan-sungkan membreidel website dan akun yang menebar virus intoleransi atau radikalisme. Kemudian laporan dari masyarakat terhadap website atau perorangan yang menyebarkan bibit-bibit intoleransi juga harus ditanggapi dengan serius.

Membangun forum kerukunan antar umat beragama di dunia maya sepertinya tidak akan berjalan semulus di dunia nyata. Malah segala sesuatu yang diembel-embeli agama selalu menjadi sasaran empuk netizen yang doyan berpolemik dan membuat keributan. Lebih baik membuat forum yang tidak dilabeli agama tetapi dikondisikan untuk menerima siapapun yang ingin bergabung, apapun agamanya. Saat ini sudah banyak komunitas yang berkiprah di dunia nyata yang diawali dengan kumpul-kumpul di dunia maya. Anggota-anggota komunitas saat berkumpul tidak lagi mempersoalkan latar belakang agama, melainkan larut dalam kebersamaan berdasarkan hobi atau kepentingan mereka. 

Sumber :
http://www.kompasiana.com/picalgadi/membangun-toleransi-di-era-sosial-media_57d8f6bb5397732911214b34

0 Comments:

Posting Komentar

 

Subiyanto, Nabila. Template by Ipietoon Cute Blog Design